Kamis, 27 Juni 2013

Kardus Kenangan Rasa Sapi Panggang

"Tulisan ini untuk ikut kompetisi @_PlotPoint: buku Catatan si Anak Magang Film "Cinta Dalam Kardus" yang tayang di bioskop mulai 13 Juni 2013." 



“Bila cintaku ini salah
Hatiku tetap untukmu
Namun kenyataannya parah
Dirimu tak pernah untukku”… Galau- Yovie Nuno

Aku putar tombol volume speaker ke kanan, maksimal. Lalu beranjak menghempaskan badan. Satu tahun kebelakang, kenapa semua malamku serba melelahkan? Tapi tak pernah bisa dihindarkan. Untuk kesekian kali aku termenung, dengan setting sama, tak pernah berubah. Lampu temaram yang menyelimuti kamar, juga lagu, satu yang tak pernah henti kuputar. Sekuat inikah kenangan meronta untuk selalu diputar. Tiap malam. Tiap waktu. Kenangan yang bahkan tak pernah menyisahkanku status, mantan pacar barangkali. Tidak.

“Tribun sebelah mana De?” pesan itu mengalir dari ponselnya.
“Tengah.”Jawabku malu-malu, seolah dari pesan singkat ia bisa melihatku.
Sedetik kemudian ia telah duduk disampingku. Nafasku memburu. Aku masih sempat mencoba mengingat-ingat kapan terakhir kalinya, getaran rasa seperti ini begitu kuat melandaku. Sudah lama, teramat,  dan sekarang lelaki ini datang menjadi penyebabnya. Egia Prima namanya.
“Udah lama disini? Eh iya, thanks for coming, ini chitato yang kapan hari kita rebutkan, di sms, haha.” Katanya sambil tergelak. Indah.
Siang itu kali pertamanya kami bertatap muka. Pertama setelah satu bulan aku mengenalnya.  Aku sengaja, menyempatkan waktu mendukungnya di sebuah gelaran dance competition.  Barangkali, aku tak hanya datang untuk menjadi pendukungnya, aku datang seolah-olah hanya itu satu-satunya kesempatan yang kumiliki untuk melihatnya. Aku begitu takut. Walau sebenarnya kami hanya teman, tapi aku tak buta, aku sudah mencintainya. Kami berbicara masih dalam balutan malu-malu, terutama aku. Selama ini, pertemanan kami memang lebih sering melewati dunia maya, pesan singkat. Pesan singkat yang begitu hangat.

Begitulah, hingga akhirnya, kentang rasa sapi panggang ini beralih padaku,  pemilik barunya. Aku tak naïf, tapi nyatanya aku berbeda dengan wanita kebanyakan yang memilih menyimpan dan terus mengeluh-eluhkan boneka, cincin, atau kalung dari masa lalu mereka. Aku memilih ini dan begitu bahagia. Satu kantong kentang istimewa, dengan kenangan.
Berlalu setahun, aku masih tak pernah memiliki angan untuk membuka dan melahapnya. Mungkin aku bisa menggantinya dengan membeli yang lain, tapi pemberiannya tak pernah terbeli. Tak pernah sama. Aku masih ingin terus merawat kenangan didalamnya. Tertutup rapat. Tak terjamah banyak orang. Tak pernah pergi jika rindu sepihak terus ingin mengulangnya, dan naasnya, ia kuulang tiap malam. Dari satu kantong inilah, tiap malam, aku baca lagi history pesan singkat kami. Yang dulu, siapapun yang membaca, akan mengira, kita sepasang roman yang indah. Di sana ada senyum yang tak henti kulihat, saat ia bercerita apa saja. Meski nyatanya, sesering apapun aku mengunjunginya. Kegalauan tetap jua singgah di sana. Kegalauan yang larut dan akan tetap tinggal. Kegalauan akan cinta yang dulu sempat aku utarakan, dan terhenti pada satu ikatan, teman.
Barangkali berteman lebih menyenangkan De, dengan begitu, kita tak akan pernah mengenal kata mantan.”
Begitulah… Kenangan yang tiap malam aku kunjungi. Kenangan akan sebuah pertemanan, dengan hati. Menyisahkan langkah cukup berat, untuk beralih.
“Mungkin ku hanya bisa… menggapaimu di mimpiku.” Kumasukkan lagi kenangan ini pada tempatnya. Kardus, yang menaungi semuanya.  Sampai jumpa, dalam mimpi.

Selasa, 25 Juni 2013

Tak Pernah Jadi Realita


“nanti ya, kalo kita sama-sama gak sibuk, aku akan bayar semua janjiku, karna bagiku janji tak jauh berbeda seperti harga diri, yang nasibnya akan kamu tentukan, jatuh atau terbanggakan.” Kemudian dengan sebaris kalimat itu aku menjadi amat senang. Senyum terus melengkung, walau aku sadar, beberapa kali kalimat itu meluncur, janjimu tetap janji, tetap disana, tak pernah jadi realita.
Hari ini kita akan bertemu, pergi ke bioskop bersama, nonton film yang sudah kita tunggu sejak lama. Berdua. Berbagi popcorn, berbagi tawa, berbagi airmata, atau mungkin, berbagi sela-sela jari kita untuk saling menggenggam saat nanti scene-nya akan berubah menjadi menakutkan. Iya, semua mungkin akan mudah terjadi. Jika saja, satu jam sebelum keberangkatan janji kita, kau tidak membatalkan semuanya.
“aku harus ambil beberapa berkas di sekolah yang lama, aku merasa bersalah sekali harus membatalkan ini, tapi kau mengerti kan? Berkas-berkas itu begitu penting.” Pesanmu satu jam tadi yang tiba-tiba seperti meruntukan awan di atas kepalaku. Semuanya mendadak berat. Gelap.
“kau mau mengerti kan?” sungguh, apa pengertianku selama ini padamu tak pernah terlihat? Apa perhatian, pengertian, tentang semua yang pernah kau sangkal atau kau batalkan masih tetutup bayang-bayang-“nya”, masa lalumu? Lalu untuk apa kau terus berjanji padaku, jika kau sendiri tahu, kau juga akan terus membatalkan semuanya?
Semakin aku mencoba tersenyum menerimanya, semakin panas mataku menahan sesuatu yang harusnya memang layak aku luapkan? Tapi, status kami lah yang mencoba terus menahannya. Mendapati bahwa kami memang tak pernah berkomitmen bersama terus menegarkanku bahwa aku tak perlu menangisi semua ini.  Bahwa aku hanya perlu bersikap seolah-olah aku batal pergi keluar seperti saat batal keluar dengan kelima perempuan sahabatku. Iya seperti itu, andai saja, kita tak pernah melewati semuanya.
Melewati malam-malam kita yang dingin, yang tak jarang dilanda sepi. Membuat semuanya terasa lebih hangat dengan canda kami walau hanya melalui pesan singkat. Bercerita apa saja, hal-hal konyol yang tak pernah ada, hingga, cerita yang amat riskan. Tentang hati. Hanya berdua dengannya, dengan baris-baris mungil kalimatnya, aku seperti lupa bahwa ternyata kami hanya sepasang teman yang disatukan nasib, nasib bahwa masa lalu kami masih teramat dekat, masih sering menghampiri kami untuk kembali. Apalagi dia, yang diam-diam dalam setiap kalimat kami yang saling memuji, masih ada “dia”, masa lalunya, yang ia banggakan, yang seolah-olah sukar tergantikan.
Aku mendapati aku bergerak lebih cepat darinya. Tapi itu tak menjadikan semuanya lebih baik. Jika ternyata, peralihan hati dan cintaku yang pernah tersangkut masa lalu, jatuh pada dirinya. Dia, yang hari-harinya seperti penumbra purnama masa lalu. Dalam setiap usahaku menggiringnya pada keadaan yang lebih terang, keadaan dengan kenyataan bahwa ada aku yang diam-diam mencoba menyembuhkan lukanya yang sukar kering, kadang aku gentar. Enam bulan kami, semua perhatianku, seolah begitu saja menguap saat ia bertemu perempuan itu, sengaja atau tidak. Janji-janji yang kami rancang seolah bubar ketika ia terlalu senang mendapat kesempatan untuk menengok masa lalunya. Semuanya terjadi begitu sering. Aku lelah, iya. Tapi apa yang bisa menghentikan kepercayaanku padanya jika ternyata, persaanku padanya sudah menjajah terlampau jauh?
Seperti hari ini, apa yang bisa aku lakukan, lagi-lagi membatalkan janji. Lagi-lagi seperti menolak bahwa dia akan bertemu denganku. Yang mungkin tak semenyenangkan masa lalunya. Mungkin dia sedang lupa, kemana dia bercerita dan mencari tawa, ketika malamnya hanya meninggalkan sepi. Sepi tak tersentuh orang yang ia harapkan. Kepadaku? Iya, kepadaku, yang entah terlalu bodoh atau apa, selalu membuka pintu maaf untuk entah, berapa janji yang sudah ia tinggalkan. Bodohkah aku jika terus berharap, suatu hari nanti, seratus tahun pun bahkan tak masalah. Yang terpenting, harapan bahwa ia akan ingat, ia punya janji yang harus ditepati. Denganku.



Sabtu, 22 Juni 2013

Sanggupkah... aku terus bercerita tentangmu...


Apa aku sanggup terus becerita tentangmu? Bercerita yang jauh hanya ada dalam mimpi dan imajinasi, sedang dalam nyatamu, kau tetap memilih dia, dia yang mengisi cerita tiap harimu…
“ini bukumu…” sodornya sambil duduk menyampingiku.
“taruh aja disitu” jawabku singkat, dan kembali larut pada apa yang sedang kutekuni.
“sibuk? Lagi nulis? Nulis apa?.” Aku menoleh ke arahnya, memandangnya tapi tanpa kata.
“semalem pulang jam berapa nonton pekan seninya FISIP?” Aku balas bertanya.
“jam duabelasan, kenapa?”
“sendirian?”
“sama temen-temen.”
Aku tak mau lagi banyak bertanya. Teman-teman. Memang, kau tak berbohong, nyatanya aku tahu jika kau memang pergi dengan teman-temanmu. Walaupun, diantara semua teman-temanmu itu telah kau pilih satu yang menjadi lebih spesial, mungkin karena cerita masa lalu. Tapi… tunggu dulu, apa salahnya jika dia harus berbohong? Kita teman, bukan pacar. Kutukku sendiri dalam hati. Aku banting pulpenku. Ia sudah tak ada di sampingku, mendadak jari-jariku kaku. Semua keindahan tiap rangkaian kata tentangnya tadi seolah menguap, tahu, nasibnya amat berkebalikan dengan kenyataan.
Satu tahun yang lalu… sejak kami dipertemukan untuk berteman, aku melihat celah lain yang sanggup aku tuliskan keindahannya. Aku tak segan selalu mengambil dirinya sebagai tokoh dalam tiap imajinasiku. Karena bagiku, imajinasi tentangnya selalu membalikkan kesedihan yang ditawarkan kenyataan. Cerita yang berasal dari angan-angan atau… hati?. Entah, aku tak pernah tahu mengapa aku bisa setegar itu mem-fiksikannya.  Teman yang datangnya sama dengan teman-teman baruku dulu karena dipersatukan kesamaan jurusan. Hingga satu tahun kebelakang, nafsu menulisku amat tak tertahankan, satu detik menatapnya, mungkin, akan timbul sejuta cerita yang sanggup kutulis dan entah, kapan aku lelah dan sejenak mungkin, beralih pada tokoh-tokoh lain, yang harusnya, punya peran lebih darinya.
Dari semuanya… aku terlalu buta jika aku tak melihat, disana ada cinta tumbuh, sejak pertama, saat ia datang padaku untuk menjadi temannya?. Mungkin, aku sudah terlalu paham sejak awal, tapi aku, memilih untuk tetap diam. Bagiku, mengumbar semuanya serba kelihatan akan justru menyisahkan kami jarak. Berkata jujur tentang semua perasaan justru akan mendingikan sapaannya bagiku yang tiap hari adalah kehangatan. Pertama tahu aku mencintanya, pertama juga aku tahu, bayang-bayang masa lalunya masih terlalu kuat untuk kuhilangkan, bersamaku, semuanya tetap ada disana, masa lalunya. Yang juga, cerita nyata tiap harinya.
Dalam rentang waktu seperti itu bagaimana mungkin aku sanggup terus memendam semuanya, terus bisu bahwa semua tulisan dan imajinasiku timbul karenanya. Bahkan dalam kesedihan karena kecemburuanku padanya pun masih sanggup aku tuliskan dan kubaca berulang-ulang, seperti mengobati lagi, luka yang sebenarnya tak pernah kering. Aku pertanyakan lagi kesanggupanku untuk tetap setia memenakannya. Memberinya keindahan atas imajinasi dan angan-anganku. Walau jauh nyatanya. Ia tak sering membagi cinta dan kesenangan pada dirinya untukku. Akankah aku terus bertahan pada keindahan semu, angan-angan yang tak pernah punya tujuan. Mengalah pada “dia”, masa lalunya, yang selalu ia beri tanpa meminta, secara nyata?
Aku tak pernah tahu akhirnya… yang jelas ada didepanku sekarang, aku tak pernah gentar, menulis untuknya. Sampai nanti, aku lelah. Meski tak tahu, masi bisakah aku lelah dan menyerah untuknya?





Selamat Berjuang....


“ Selamat berjuang…
Keberuntungan ada di tangan mereka yg percaya dan berdoa”
Sent. Tuesday. 05.05 am
Aku tetap memilih, menjadi teman yang dengan kesetiaannya selalu mendukung apa yang ia lakukan. Ya, sebagai teman, dua tahun kebelakang.

Diantara sengalan nafas yang terus berjejal, memburu, aku melemparkannya, sekedar pensil dan gulungan kertas kecil, beberapa pesan, atu mungkin, luapan perasaan dimenit-menit paling krusial sebelum ia menempuh ujian mandirinya. Aku masih ingat, betapa beberapa saat sebelum langkahku semakin mendekat, semua terasa semakin berat. Aku mengenal alasannya. Amat kenal. Lemparanku itu berarti juga keikhlasan, keikhlasan melemparnya pergi, ke tempat yang nantinya jauh memisahkan kami. Ke tempat ia akan mengejar mimpinya. Tanpa pernah tahu, dialah yang tiap malam tak pernah hilang dari tidur seseorang sebagai mimpi. Tidurku. Temannya. Yang masih terlalu pecundang.
“Ini pensil unasku, terpercaya kok, sengaja kusisakan untuk tesmu hari ini”…
“iya, aku tau, kamu punya beberapa yang lebih kau percaya, tapi anggap saja, dengan itu, aku ikut berjuang bersamamu kawan, aku gak duluan, kamu punya tempat terbaik disana. Selamat berjuang!”…
“satu lagi, rencana Tuhan gak pernah ketukar.”
Seraya menepuk pundaknya, aku segera berbalik, mengucap semua kata-kataku tanpa jeda. Aku tak terlalu siap jika tiba-tiba ia menyela dengan kata yang tak bisa aku imbangi. Karena mungkin saat ini, aku terlalu sedih. Sedih, melepasnya pergi.
“ini?” ia mengacungkan gulungan kertas kecil yang kuberikan.
“buka saja saat semua perjuanganmu sudah kautamatkan, selamat berjuang” setengah berteriak, jarak kami sudah tak terlalu dekat. Dari kejauhan, sekelebat aku melihat raut kebingungan. Mungkin bingung, apa isi yang ada digulungan kecil itu, atau bisa jadi bingung, bagaimana bisa aku tau tempat tesnya dan menghampirinya. Aku terkikik. Anggap saja aku dukun. Aku melenggang pergi. Namun tak pulang.
Setelah sekitar satu jam aku berkendara, aku memarkir sepedaku di pinggiran jalan tak jauh dari tempat yang akan aku singgahi. Dari kejauhan aku sudah bisa mendengar, gemericik aliran air yang tak terlalu besar, tapi menenangkan. Aku melemparkan tasku disana, dipinggiran sungai dengan rumput hijau yang halusnya lumayan, dan segera menjatuhkan badan. Tak banyak orang tau tempat ini. Jaraknya lumayan dari jangkauan kota, itu sebabnya pula, sungai ini jauh lebih bersih ketimbang sungai yang membelah kota. Aku sendiri menemukan sungai ini ketika ayah mengajariku bagaimana memancing. Dulu, ketika ia masih ada.
Aku biarkan pikiranku mengalir terlampau jauh bersama aliran air disini. Pikiran yang sejak sebulan lalu tiba-tiba menjerat dan tak mampu ku tolak. Pikiran yang tiba-tiba mengetuk hati, membuka pintunnya yang sudah lama dan susah payah kututup, atas nama pertemanan. Aku tak mau jatuh pada temanku sendiri.
Aku menghela panjang… jika perpisahan ada untuk menjadi momok manusia, aku ingin, memilih untuk tak takut padanya. Aku memilih untuk tak menjadi musuhnya, merangkulnya bersama, karena ia juga, bagian besar dari kebahagiaan yang dulu diberikan pertemuan padaku. Tapi semua tak pernah mudah, semakin aku mencoba berdamai, semakin pula sisi hati yang lain meronta, mengutuk, dan memberontak, berteriak keras “kenapa ia harus ada?.” Kalaupun ia harus ada, kenapa ia datang saat ini, merenggutnya, sahabatku,  dari liburan panjangku kali ini. Merenggut saat waktu, mungkin, akan banyak kuhabiskan dengannya. Dengannya akan kami bayar bersama pertemanan kami dua tahun yang tak banyak yang bisa kita lakukan lagi-lagi karena masalah jarak, walau tak sejauh yang akan ia tuju setelah ini. Jarak yang selalu jahat. Dan sekarang, perpisahan yang sebenarnya tak cukup kejam ini, harus dikuti dengan jahatnya jarak yang memisahkan kami.
“mungkin, aku menyayangimu lebih dari teman, bagaimana kalau aku mengingikan lebih dari ini?” pertanyaan hina, tapi terlambat, aku sudah bergumam, aku menyadarinya, dan aku terima alasan mengapa perpisahan ini akan terasa begitu berat. Aku…
And this is the day, usahamu selama ini akan kau tentukan hari ini. Mimpi yang dulu kau gantungkan, akan kau tentukan nasibnya pagi ini. Selamat berjuang, aku cuman ingin kabar terbaik darimu nanti…
Kabar baik? Tidak, tidak selamanya kabar baikmu akan menyenangkan bagiku. “seseorang akan bahagia jika melihat orang yang dicintainya bahagia” aku setuju ungkapan ini. Aku akan berbahagia untukmu saat kau mampu menempati tempatmu disana, universitas yang akan menyisahkan ribuan kilometer untuk pertemanan kita. Aku akan mengiyakan ungkapan itu, jika saja, aku masih berdiri disampingmu sebagai teman. Tapi sekarang, aku tak bisa berbahagia untukmu terlalu lama. Aku rasa, ada hati yang memilih untuk bersedih karena penerimaanmu nanti, bukan aku jahat. Tidak. Aku selalu ingin menjadi pendukung terbaik untukmu, sahabatku, dua tahun silam. Tapi. Apa yang bisa dilakukan jika pertemananku denganmu ini, sudah terjajah hati?
selamat berjuang, keajaiban Tuhan untuk mereka yang percaya dan berdoa
.”
Gulungan kertas kecil itu… dibaca pemiliknya. Aku melengak, masih tak bisa berkata-kata.
“bagaimana kau bisa tau aku disini?” bibirku mulai bergerak.
“anggap saja aku dukun,” balasnya terkekeh. Kemudian hening kembali menyisahkan kami jeda.
“kita bakal berjuang bersama-sama, aku disana, kamu disini, aku akan kembali saat pejuanganku sudah selesai, saat impianku sudah jelas nasibnya, aku akan kembali, menjemput impianku yang lain yang masih disini, jaga diri.” Ia mulai bicara, tak banyak, tapi tepat pada bidikan. Mataku mulai panas.
Aku tak mampu mengimbangi setiap kata yang keluar darinya. Apa yang aku dengar hanya ilusi karena saat ini aku terlalu menginginkannya dan bersedih akan melepasnya? Aku hanya meliriknya. Pada sosoknya, menggantung sebuah pertanyaan yang barangkali aku tahu jawabnya, tapi memilih untuk berpura tak tahu. Aku biarkan menjadi pertanyaan yang mungkin empat tahun lagi baru aku temukan jawabnya.
“selamat berjuang, aku tunggu kamu disini, nanti.”
Aku beranjak. Pulang. Meninggalkannya, tetap tinggal bersama dan dengan impian-impiannya.