"Tulisan ini untuk ikut kompetisi @_PlotPoint: buku Catatan
si Anak Magang Film "Cinta Dalam Kardus" yang tayang di bioskop mulai
13 Juni 2013."
“Bila cintaku ini salah
Hatiku tetap untukmu
Namun kenyataannya parah
Dirimu tak pernah untukku”…
Galau- Yovie Nuno
Aku putar tombol volume
speaker ke kanan, maksimal. Lalu beranjak menghempaskan badan. Satu tahun kebelakang,
kenapa semua malamku serba melelahkan? Tapi tak pernah bisa dihindarkan. Untuk
kesekian kali aku termenung, dengan setting sama, tak pernah berubah. Lampu
temaram yang menyelimuti kamar, juga lagu, satu yang tak pernah henti kuputar. Sekuat
inikah kenangan meronta untuk selalu diputar. Tiap malam. Tiap waktu. Kenangan
yang bahkan tak pernah menyisahkanku status, mantan pacar barangkali. Tidak.
“Tribun sebelah mana De?” pesan itu
mengalir dari ponselnya.
“Tengah.”Jawabku malu-malu, seolah dari
pesan singkat ia bisa melihatku.
Sedetik kemudian ia telah duduk disampingku.
Nafasku memburu. Aku masih sempat mencoba mengingat-ingat kapan terakhir
kalinya, getaran rasa seperti ini begitu kuat melandaku. Sudah lama, teramat, dan sekarang lelaki ini datang menjadi
penyebabnya. Egia Prima namanya.
“Udah lama disini? Eh iya, thanks for
coming, ini chitato yang kapan hari kita rebutkan, di sms, haha.” Katanya
sambil tergelak. Indah.
Siang itu kali pertamanya kami bertatap
muka. Pertama setelah satu bulan aku mengenalnya. Aku sengaja, menyempatkan waktu mendukungnya
di sebuah gelaran dance competition. Barangkali, aku tak hanya datang untuk menjadi
pendukungnya, aku datang seolah-olah hanya itu satu-satunya kesempatan yang
kumiliki untuk melihatnya. Aku begitu takut. Walau sebenarnya kami hanya teman,
tapi aku tak buta, aku sudah mencintainya. Kami berbicara masih dalam balutan
malu-malu, terutama aku. Selama ini, pertemanan kami memang lebih sering
melewati dunia maya, pesan singkat. Pesan singkat yang begitu hangat.
Begitulah, hingga
akhirnya, kentang rasa sapi panggang ini beralih padaku, pemilik barunya. Aku tak naïf, tapi nyatanya
aku berbeda dengan wanita kebanyakan yang memilih menyimpan dan terus
mengeluh-eluhkan boneka, cincin, atau kalung dari masa lalu mereka. Aku memilih
ini dan begitu bahagia. Satu kantong kentang istimewa, dengan kenangan.
Berlalu setahun, aku
masih tak pernah memiliki angan untuk membuka dan melahapnya. Mungkin aku bisa
menggantinya dengan membeli yang lain, tapi pemberiannya tak pernah terbeli. Tak
pernah sama. Aku masih ingin terus merawat kenangan didalamnya. Tertutup rapat.
Tak terjamah banyak orang. Tak pernah pergi jika rindu sepihak terus ingin
mengulangnya, dan naasnya, ia kuulang tiap malam. Dari satu kantong inilah,
tiap malam, aku baca lagi history pesan singkat kami. Yang dulu, siapapun yang
membaca, akan mengira, kita sepasang roman yang indah. Di sana ada senyum yang
tak henti kulihat, saat ia bercerita apa saja. Meski nyatanya, sesering apapun
aku mengunjunginya. Kegalauan tetap jua singgah di sana. Kegalauan yang larut
dan akan tetap tinggal. Kegalauan akan cinta yang dulu sempat aku utarakan, dan
terhenti pada satu ikatan, teman.
“Barangkali
berteman lebih menyenangkan De, dengan begitu, kita tak akan pernah mengenal
kata mantan.”
Begitulah… Kenangan yang
tiap malam aku kunjungi. Kenangan akan sebuah pertemanan, dengan hati.
Menyisahkan langkah cukup berat, untuk beralih.
“Mungkin ku hanya bisa…
menggapaimu di mimpiku.” Kumasukkan lagi kenangan ini pada tempatnya. Kardus,
yang menaungi semuanya. Sampai jumpa,
dalam mimpi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar