Selasa, 02 Juli 2013

Meskipun Engkau Telah Pergi...


“meskipun engkau telah pergi, mungkin tak kan kembali, aku di sini, tetap di sini”- Yovie Nuno.

Aku masih buta alasan kenapa aku begitu berat mencintaimu, aku masih tuli akan semua penjelasan, kenapa semua begitu menyesakkan ketika aku melepasmu pergi, temanku sendiri sekuat ini. Aku tak pernah benar-benar waras memikirkan perasaanku padamu, sejak dua tahun yang lalu.
Satu minggu setelah semua kabar yang telah kau berikan padaku, semuanya masih sama, sepi. Di sana hanya ada sekumpulan rencana kita yang tak akan pernah lagi bertemu tuannya. Karena kamu, satu minggu yang lalu, bercerita padaku bahwa kau telah menemukan jalan kembali pada waktu yang sebenarnya amat jauh terjangkau. Kau telah kembali padanya, masa lalumu.
“Bukankah kau tak pernah sama sekali mempunyai ikatan apapun yang mengharuskan kau merasakan semua sesesak ini?” pikiran terus menderu, mendebat.
“Memang, aku hanya sanggup memanggilnya kawan, aku hanya sanggup diam ketika ia mulai berbicara tentang masa lalunya, aku mencoba tersenyum, senyum getir.”
“Kau bahkan telah mendengar darinya sendiri bahwa kalian akan tetap  berteman, kamu mencintainya, dia tidak, kalian bertemu untuk berteman, lupakan, bukan tempatmu untuk terus tersudut dalam dimensi yang sebenarnya tak pernah kau miliki, kau bisa tak sesakit ini.”
“Bisa tak sesakit ini? Aku bukan cinta yang sanggup melihat orang yang begitu kau cintai dan ingin kau miliki bahagia bersama orang lain. Tidak, aku tak pernah percaya semuanya, kalaupun suatu saat nanti aku mampu perlahan menjauh darinya, itu jelas bukan karena aku rela. Semua terpaksa. Mungkin nanti, waktu memaksaku menerima semuanya.”
“Cinta? Atau obsesi?”
“Aku mencintainya. Karena ada perbedaan antara obsesi dengan cinta disana, kau tahu apa? Obsesi mampu menyentuh cara yang mungkin, terburuk, untuk mendapatkan apa yang kamu inginkan, dan cinta? Cinta melakukan yang terbaik untuk orang yang kamu inginkan.”…
“Kau tahu, aku tak pernah ingin menyebut semua yang kulakukan padanya adalah yang terbaik, tidak. Tapi… bukankah aku yang memberinya tangga untuk lagi naik ketika ia jatuh untuk masalah apapun. Ada aku yang menampung semua cerita masa lalunya yang begitu indah, meski seringnya diikuti deraan air mata. Aku tetap mampu memanggilnya teman sedang waktu yang aku miliki sering tersita untuk dirinya, aku rela, aku tak pernah menuntutnya, dan sekarang aku biarkan ia kembali pada wanita itu, masa lalunya. Karena di sana, di dalam hati atas pertemanan kami, ada cinta yang tak bisa kutolak, tapi ada takdir yang tak mampu kulawan, hingga sekarang, kepergiannya harus aku tangisi sendirian.”
“Dia sudah menjauh, ke hati lain yang tak mudah kau jangkau? Kau mau apa lagi sekarang? Terus menangis? Terus bersedih?”
“Mau apa lagi aku sekarang?” aku mengulangnya.
Aku biarkan semuanya terus jauh mengelana, pergi megikuti semua langkahmu yang kini, di sampingnya tak akan pernah lagi kutemui diriku sendiri. Aku masih ingin memelihara cinta atas pertemanan kami, walau nyatanya yang aku dapati aku hanya akan terus berteman bayangmu. Aku masih enggan berlari terlalu jauh mengejar mimpi yang dulu pernah kita bertukar tentangnya. Iya, karena aku tahu, walau pergimu tak pernah menjanjikan datang, walau pintu hatimu tak pernah memberi isayarat terbuka lagi untuk sebuah cinta, termasuk aku. Aku tetap di sini, menjaga semuanya yang pernah kita punya, sendirian. Kenangan. Dan teman.