Ia masih
membereskan alat tulisnya yang terserak. Sebelum semua masuk rapi dalam tas itu
aku memilih untuk menghampirinya.
“Kak,
buru-buru?” tanyaku.
“enggak De,
kenapa?” balasnya ringan.
“eng… ngga
apa, nanya, aku duluan ya, cepet pulang, selamat jadi mahasiswa”. Sesaat aku refleks
mengurungkan niatku mengatakan yang semalam sudah aku rangkai dan aku rapal
berkali-kali, berharap tak menguap keesokan harinya. Tapi, sejak tadi berada di
dalam kelas, ketika pembinaan maba, pikiranku terombang-ambing, kadang tekad
yang sudah lama aku siapkan ini terus menantang untuk diungkapkan, tapi sejenak
kemudian berganti haluan, tidak kah ini terlalu berlebihan? Bukankah kami hanya
berteman?. Sampai tiba saatnya bel berdentang, tanda pembekalan selesai, dan
aku putuskan, mengurungkan semuanya.
Langkahku
gontai, aku tak ingin buru-buru menginjak rumah. Aku putuskan berhenti di zona
mahasiswa, tempat terkonsentrasinya berbagai aktivitas mahasiswa di gelanggang
yang mampu menampung empat ribuan manusia ini, aku memilih sudut kecil ditempat
ini yang tak mudah terjangkau mata. Aku sedang tak ingin diganggu.
Aku ambil
diary berukuran tak terlalu besar dari dalam tasku. Aku buka halaman terbaru
yang ada disana, aku baca berkali-berkali. Berkali-kali pula kegamangan ini
muncul dan hilang.
Hari ini setahun aku
menjadi temanmuuuu…
Begitu aku merapal kata
saat pertama kali membuka mata pagi ini. Sambil tetap bediri memandang deretan
angka penghitung hari itu. Aku mengenang. Mei, bulan ini tahun yang lalu,
mataku menangkap sosok yang kudapati, setahun ini telah menjadi temanku.
“sudah bertahun-tahun
kau menjadi teman Ranny, Ivan, dan Aris, kenapa kau tak pernah ingat pertama
kali kalian bertemu? Mengapa kau tak pernah berencana mengulang saat pertama itu
tiap tahunnya? Jika sama-sama kalian berteman, harusnya sama pula apa yang kau
lakukan? Mengingat ulang tahun pertemananmu!” hati seperti menohok.
Aku beralih, membuka
piringan kubik berlapis logam hitam mengkilat. Berusaha mencari apa saja yang
bisa kutemui disana, mencari penjelasan untuk logikaku sendiri.
Masih sangat segar dalam
ingatanku bagaimana setahun itu berlalu.
Gemuruh gelanggang
olahraga ini tak kunjung reda, sekolahku, setahun yang lalu- mengerahkan begitu
banyak siswanya, mendukung habis-habisan tim futsal sekolah kami, maklum, laga
final. Ditengah-tengah keramaian itu, dari sanalah aku menangkap sesosok yang
tiba-tibaa melemaskanku. Merenggut sesuatu dibawah jantung, tak lama, hanya
beberapa detik, mungkin tiga.
Kemenangan ada ditangan sekolahku
sore itu, senyum kemenangan tak henti terkulum dari tiap siswanya. Termasuk
aku, bedanya, diam-diam dalam senyum itu, seolah ada misteri yang menggelitik
segera terpecahkan. Misteri yang didalamnya menggantung hadiah yang mungkin
“menyenangkan”. Aku menghela, masih tersenyum, bertekad menang melawan misteri
yang aku namai sendiri.
“Namanya Eka Putra, De…
kelas duabelas sama kayak kita, anak sma itulooo tapi aku denger gak tiap hari pulang… jadi…”, jadi
tak mudah bertemu ia kembali di lain waktu, aku menyimpulkan. Begitu pesan
singkat yang shubuh tadi aku baca. Terperanjat, aku segera membuka akun sebuah
jejaring, disana pernah aku tanyakan nama seseorang, Eka Putra. Sama.
Kadang aku berpikir,
apakah bumi ini benar-benar seluas teori yang sering aku temui. Satu orang saja,
nyambungnya bak keluarga tujuh turunan. Jauh sekali ujungnya, di tengah-tengah
muncul keterkejutan, keheranan, dan kekagetan, ini-mengenal-ini,
ini-anunya-ini. Hft.
Berhari-hari setelah
tiga detik yang menyenangkan itu, bunga tidur seperti tak pernah mau bersemi
kala malam. Sensasi perut berbunyi menagih jatah asupan pagi, siang, dan malam
juga seperti enggan lagi berbunyi. Aku kehilangan sensasi keduanya. Tapi
anehnya, aku menurut saja mengkuti kemana aliran ini membawaku, menikmati apa
saja yang akan terjadi, ya aku menikmati sensasi itu, tak ingin mengelak barang
sedikitpun. Beriringan dengannya, kini, ada sebuah nomer baru diponsel yang
menggelitik untuk segera dihubungi. Call,
sesaat kupencet, tapi sepersekian detik pula kuakhiri, berharap memori diponsel
lain akan mencatat sebuah missed-call
tanpa nama kontak. Yang terkadang akan segera dihubungi kembali melalui pesan
singkat. Begitulah kawan, teknik klasik itu juga pernah aku gunakan. Aku
terlalu pecundang untuk memulai semuanya melalui pesan singkat.
Sampai akhirnya, hari
berganti hari, aku mendapati diriku makin salah meng-artikan tatapan tiga detik
yang dulu sempat melemaskanku. Aku terlalu dini mengartikan itu cinta. Aku
terlalu egois mengikuti arah hati untuk terus mencintainya, tanpa peduli,
“peringatan logika”. Itu mungkin manusiawi, tak memalukan. Yang membuatnya
memalukan adalah aku sempat terlalu “memaksakan”. Padahal, harusnya aku lebih
pandai mengucap Alhamdulillah mengingat orang baru ini sudah mau aku recoki
tiap malamnya.
Pertemanan kami masih
mengalir, tak tergerus, -mungkin musim, meski kadang,-seperti laut yang harus mengalah
energinya pada cahaya sempurna rembulan, pertemanan kami juga ada pasang-surutnya.
Karena bagiku,- adakalanya pertemanan harus direnggangkan, tapi bukan berarti
dipisahkan. Tujuannya agar semua tetap segar, tetap seimbang, dan tak membosankan.
Aku meninggalkan
potongan-potongan film klasik tadi. Semua telah kutanggalkan, meski padahal,
mereka tetap setia dibelakang ketika harus kembali terputar. Aku raih diary,
dan mulai menulis.
Kepada
logika, yang selalu mengajarkan bahwa setiap peristiwa memiliki nalarnya
masing-masing, yang mampu dijelaskan, bukan sekedar dielakkan dengan perasaan.
Kali
ini aku tak akan mengelakmu, aku juga tak akan membela diri mencari setumpuk
alasan “mengapa aku melakukannya? Mengingat setahun itu”. Di dunia ini, bagiku,
sebenarnya tak pernah benar-benar ada pertemuan yang direncanakan. Dan adakalanya,
pertemuan itu hanya ‘bonus’ dari sebuah rencana. Dan bertemu dengannya adalah
sebuah bonus rencanaku mendukung tim futsal kala itu.
Kami
berteman dengan serba keadaan baru dan mungkin, asing. Aku orang baru baginya,
begitu sebaliknya. Latar kami benar-benar berbeda, lingkungan dan pendidikan.
Hanya saja satu kesamaan kami. Usia. Usia remaja. Yang sebisa mungkin belajar
sok dewasa memaknai hidup, meski kadang dapatnya hanya setengah. Kami belajar,
di tempat berbeda. Sistem pendidikan yang ada,, membuat intensitas pertemuan, -yang
direncanakan atau tidak, menjadi sangat tak mungkin. Berbeda dengan
pertemananku dengan tiga orang itu- Ranny, Aris, Ivan yang disatukan persamaan
tujuan. Dua belas tahun menuntut ilmu di sekolah yang sama, dan sebangku. Kali
ini tidak, begitu banyak interval waktu yang memisahkan pertemuan satu dengan
pertemuan yang lain. Dan itulah yang bisa aku jelaskan padamu mengapa aku mau
dan mampu mengingat-ingat kapan saat pertama itu akan diulang tiap tahunnya. Karena
menjaga pertemanan seperti itu, bagiku tak pernah mudah, dan aku lega,
mendapati usianya kini sudah setahun. Bukan karena ‘rasa’ yang sempat aku
ceritakan padamu itu masih ada dan terlalu besar, tidak. Yang tak mudah selalu terlalu kuat untuk diingat. Karena disana ada ‘perjuangan’. Usaha tak pernah
mempermasalahkan jarak, dan sedikit ‘perjuangan’ menghilangkan rasa asing itu
dulu, bagiku. Inilah yang membuat setahun yang lalu masih begitu segar. …
Adelia P
Aku meringis, ia yang dulu seperti teman
khayalan dalam negeri dongeng menjelma menjadi temanku kuliah kini. Rencanayang tak
pernah terpikirkan. Aku katamkan lagi membacanya, disana, kalimat itu tak
pernah terselesaikan. Tapi setidaknya, aku telah mampu menjelaskan. Aku baru
akan merapikan semuanya, dan bergegas pulang, sebelum aku sadar, aku dapati ia,-
yang baru aku baca lagi kisahnya- memandangku dari tengah lapang dibawah sana.
Sesaat itu juga ia menghampiriku dan kini berada disampingku.
“katanya tadi pulang duluan? Kok masih
disini De ?” tanyanya.
“aku gak bilang pulang, cuman bilang
duluan”. Balasku seperti tak siap.
“hhh, iya sih iya. Maaf salah. Ngapain?
Udah sore banget lo?”.
“nulis dan ngecek lagi list kegiatan ospek
bulan depan, takut ada yang keliru, mumpung masih disini, lah? Kamu masih
ngapain disini?” Tanyaku balik.
“nulisnya di buku diary? Lagi liat
komunitas panah latian, sepertinya seru”. Seolah tanpa berpikir, ia tahu, bahwa
buku yang masih didekapku ini sebuah diary.
“iya sih ini emang diary, tapi isinya
gado-gado”. Kilahku, seraya membatin-, di buku ini, ada cerita pertama kita
berteman yang tak pernah kau ingat.
“hahaha, bisa aja kamu. Buruan pulang,
gak baik cewek pulang kemaleman, baru juga jadi mahasiswa kan?”.
Aku menurut perintahnya, tapi sebelum ia
berlalu terlalu jauh aku menahannya. Bertanya bodoh.
“eh nanya, ini tanggal berapa ya Kak?” .
“6 Mei De, kenapa? Ada janji?” tanyanya
tak curiga.
Aku menghela napas, ia memang benar-benar
tak ingat. “oh udah Mei, cepet ya, padahal Mei setahun yang lalu kan”. Aku
sengaja tak menyelesaikan kalimatku, memberi kesempatannya berpikir, akankah ia
ingat?.
“kenapa Mei setahun yang lalu? Masih mau
naik kelas tiga? Pingin balik sma? Hahaha”. Ia tak ingat. Aku tersenyum, kecut.
Ia berlalu, menghilang bersama kerumunan
lain yang mulai beranjak pulang. Matahari juga hampir hilang. Aku masih tak
sedikitpun melangkah. Tapi dalam hati, aku putuskan untuk tak lagi
menggamangkan hal ini. Aku sudah merapikan diaryku, membiarkan semua- cerita
setahun kami- diam disana. Hanya aku yang akan setia membaca, membolak-balik
tiap halamannya. Karena baginya, mungkin, berteman tetap berteman, tak perlu
diingat kapan pertama kami bertemu. Itu hal kecil. Tak penting. Aku menghela,
tapi bagiku…. Ah sudahlah, selamat satu tahun, teman :-)
Eka Putra, nama
asli yang pengarang pinjam dari yang sebenarnya.
Sebagian tokoh
lain, karangan dan imajinasi.
Yang ber-font
Agency Fb, pernah ada dalam 'sebuah' diary.
Dan sisanya,
difiktifkan, -bukan sebenarnya.