“meskipun
engkau telah pergi, mungkin tak kan kembali, aku di sini, tetap di sini”- Yovie
Nuno.
Aku masih buta alasan
kenapa aku begitu berat mencintaimu, aku masih tuli akan semua penjelasan,
kenapa semua begitu menyesakkan ketika aku melepasmu pergi, temanku sendiri
sekuat ini. Aku tak pernah benar-benar waras memikirkan perasaanku padamu,
sejak dua tahun yang lalu.
Satu minggu setelah
semua kabar yang telah kau berikan padaku, semuanya masih sama, sepi. Di sana
hanya ada sekumpulan rencana kita yang tak akan pernah lagi bertemu tuannya. Karena
kamu, satu minggu yang lalu, bercerita padaku bahwa kau telah menemukan jalan
kembali pada waktu yang sebenarnya amat jauh terjangkau. Kau telah kembali
padanya, masa lalumu.
“Bukankah kau tak pernah sama
sekali mempunyai ikatan apapun yang mengharuskan kau merasakan semua sesesak
ini?” pikiran terus menderu, mendebat.
“Memang, aku hanya
sanggup memanggilnya kawan, aku hanya sanggup diam ketika ia mulai berbicara
tentang masa lalunya, aku mencoba tersenyum, senyum getir.”
“Kau bahkan telah mendengar
darinya sendiri bahwa kalian akan tetap
berteman, kamu mencintainya, dia tidak, kalian bertemu untuk berteman,
lupakan, bukan tempatmu untuk terus tersudut dalam dimensi yang sebenarnya tak
pernah kau miliki, kau bisa tak sesakit ini.”
“Bisa tak sesakit ini? Aku
bukan cinta yang sanggup melihat orang yang begitu kau cintai dan ingin kau
miliki bahagia bersama orang lain. Tidak, aku tak pernah percaya semuanya,
kalaupun suatu saat nanti aku mampu perlahan menjauh darinya, itu jelas bukan
karena aku rela. Semua terpaksa. Mungkin nanti, waktu memaksaku menerima
semuanya.”
“Cinta? Atau obsesi?”
“Aku mencintainya. Karena
ada perbedaan antara obsesi dengan cinta disana, kau tahu apa? Obsesi mampu
menyentuh cara yang mungkin, terburuk, untuk mendapatkan apa yang kamu
inginkan, dan cinta? Cinta melakukan yang terbaik untuk orang yang kamu
inginkan.”…
“Kau tahu, aku tak
pernah ingin menyebut semua yang kulakukan padanya adalah yang terbaik, tidak.
Tapi… bukankah aku yang memberinya tangga untuk lagi naik ketika ia jatuh untuk
masalah apapun. Ada aku yang menampung semua cerita masa lalunya yang begitu
indah, meski seringnya diikuti deraan air mata. Aku tetap mampu memanggilnya
teman sedang waktu yang aku miliki sering tersita untuk dirinya, aku rela, aku
tak pernah menuntutnya, dan sekarang aku biarkan ia kembali pada wanita itu,
masa lalunya. Karena di sana, di dalam hati atas pertemanan kami, ada cinta
yang tak bisa kutolak, tapi ada takdir yang tak mampu kulawan, hingga sekarang,
kepergiannya harus aku tangisi sendirian.”
“Dia sudah menjauh, ke hati lain
yang tak mudah kau jangkau? Kau mau apa lagi sekarang? Terus menangis? Terus
bersedih?”
“Mau apa lagi aku
sekarang?” aku mengulangnya.
Aku biarkan semuanya
terus jauh mengelana, pergi megikuti semua langkahmu yang kini, di sampingnya
tak akan pernah lagi kutemui diriku sendiri. Aku masih ingin memelihara cinta
atas pertemanan kami, walau nyatanya yang aku dapati aku hanya akan terus
berteman bayangmu. Aku masih enggan berlari terlalu jauh mengejar mimpi yang
dulu pernah kita bertukar tentangnya. Iya, karena aku tahu, walau pergimu tak
pernah menjanjikan datang, walau pintu hatimu tak pernah memberi isayarat
terbuka lagi untuk sebuah cinta, termasuk aku. Aku tetap di sini, menjaga semuanya
yang pernah kita punya, sendirian. Kenangan. Dan teman.