Mungkin, jika ada persamaan
yang senantiasa mengulum senyum padaku, ia adalah kamu, dan tulisan-tulisan
kecilku yang tergores di mana saja. Kalian sama-sama candu yang tak pernah aku
temukan obat penawarnya. Gawatnya, sama seperti candu-candu yang ditawarkan
obat-obat ilegal di negri ini, candu kalian menghasilkan rasa luar biasa, yang
sulit dielak, sulit ditaklukan, dan akulah yang akhirnya penuh keikhlasan harus
mengalah, tertunduk pada semua yang bersangkut paut dengan kalian-, kamu dan
tulisan ini.
Pikiranku menggulung-gulung
hari, tak tentu arah, kadang berlari kesebuah keinginan besar memilikmu karena
semakin hari kau nampak dalam media apapun semakin hari pula aku menggilaimu.
Tapi sejenak berhenti, memutar elongasi ke arah lain yang bertabrakan, kekuatan
ingin mengkahiri segalanya tentang kamu terbersit tak kalah gila. Tapi sesaat,
beliung itu reda, mnegmbalikanku pada sikap normal bahwa kita,- aku dan kamu-
akan tetap berteman sampai nanti mungkin angin sudah tak berarak bersama dan
berganti meneteskan air perlahan, sampai nanti gersangnya padang di musim
kemarau telah berganti titik-titik air tiap harinya disana. Kita akan tetap
berteman, sampai nanti, kemarau-dan hujan, musim silih berganti memutar waktu
mungkin sampai nanti ketka purnama sudah berlalu sampai hitungan beratus-ratus.
Aku menegak ludah, sampai kapan kegamangan ini terus berpendar sendirian dalam
hati. Tanpa pernah tau lagi siapa yang akan menjadi tiang pegangannya.
Aku menyandarkan diri, masih di
kamar tidur. Hari ini, aku ingin, semua kegalauan perasaan tentang apa yang
harus aku lakukan terhadapmu harus terselesaikan, kompromiku pada hati. Aku tak
mungkin kembali mengibarkan bendera perang, menabuh genderang, menyatakan bahwa
aku kembali berperang, melawan “tidak”mu yang dulu sempat aku dengar dengan tetap mencintaimu,
terang-terangan, melawan semua yang mungkin telah kau anggap pertemanan dengan
cinta yang menggebu-nggebu. Sama saja, punguk merindukan bulan. Dan punguk itu
temanmu yang mungkin tak pernah penting. Aku menghela, pasrah.
Tapi, bukankah kau dan
tulisan-tulisan ini sama? Berhenti mencintaimu meski diam-diam tak seorang pun
tahu aku masih menanamnya di taman rahasia dalam hatiku sendiri, berarti juga
menghentikan semua tulisan-tulisan kecilku. Tidak. Aku tergertak. Aku akan
terus menulis, berarti aku akan terus mencintaimu. Terus, diam-diam. Aku tak
gentar meski bebrapa kali tangis pecah bukan karna sakit menanggung cinta
diam-diam ini sendirian, tapi karena mereka yang sebenarnya tak pernah
benar-benar tahu, melarangku melanjutkan apapun yang telah kujalankan, setngah,
untukmu.
Aku mengambil secarik kertas-
“tinta laut”. Aku menggoresnya. Aku akan memulai lembar baru menulis tiap hari
tentangmu bersamanya. Aku berjanji. Cerita petualangan hati dinaikturunkan
perasaaan olehmu akan tumpah disini. Dilembar baru yang membebaskan orang gila,
yang mencintaimu ini, menuliskan apa saja. Tekadku bahwa persamaan “kalian”
yang harus tetap terpelihara membuatku mengambil jalan samping, membelokkan
kegamangan pada lembar baru sebuah halaman yang akan setia mendengarku
bercerita, dan yang paling menyenangkan, adalah tak memprotesku, selalu.
Kalian, tulisan yang terus mengalir dan lelaki yang aku cintai, akan terpelihara
hati, terceritakan dengan indah pula oleh hati, bersama lembar baru bertitle
“tinta laut” ini. Seperti tinta laut, tak akan habis ia tergerus jaman,
tergerus waktu, tergerus musim kemarau panjang. Karena di hamparan biru itu,
mengalir berkubik-kubik air yang akan terus mengisi penaku menulis apa saja
tentangmu. Aku tak perlu takut kehilangan salah satu dari kalian, seperti ombak
yang tak berhenti berdebur menysir pantai, aku juga tak akan berhenti menyisir
tiap jengkal harimu untuk bisa menjadi hariku. Tetes airnya akan tertuang
disini, bersama hati yang tertuang padamu. Karena, lagi, aku mencintaimu
seperti aku mencintai tulisan-tulisanku, bertabur kata-kata yang kadang harus
terindahkan, mengalir dari hati,tak akan dihentikan apapun yang mungkin menghadang.
Aku masih mencintamu, teman.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar