Selasa, 30 April 2013

Hari ini...


Ia masih membereskan alat tulisnya yang terserak. Sebelum semua masuk rapi dalam tas itu aku memilih untuk menghampirinya.
“Kak, buru-buru?” tanyaku.
enggak De, kenapa?” balasnya ringan.
“eng… ngga apa, nanya, aku duluan ya, cepet pulang, selamat jadi mahasiswa”. Sesaat aku refleks mengurungkan niatku mengatakan yang semalam sudah aku rangkai dan aku rapal berkali-kali, berharap tak menguap keesokan harinya. Tapi, sejak tadi berada di dalam kelas, ketika pembinaan maba, pikiranku terombang-ambing, kadang tekad yang sudah lama aku siapkan ini terus menantang untuk diungkapkan, tapi sejenak kemudian berganti haluan, tidak kah ini terlalu berlebihan? Bukankah kami hanya berteman?. Sampai tiba saatnya bel berdentang, tanda pembekalan selesai, dan aku putuskan, mengurungkan semuanya.
Langkahku gontai, aku tak ingin buru-buru menginjak rumah. Aku putuskan berhenti di zona mahasiswa, tempat terkonsentrasinya berbagai aktivitas mahasiswa di gelanggang yang mampu menampung empat ribuan manusia ini, aku memilih sudut kecil ditempat ini yang tak mudah terjangkau mata. Aku sedang tak ingin diganggu.
Aku ambil diary berukuran tak terlalu besar dari dalam tasku. Aku buka halaman terbaru yang ada disana, aku baca berkali-berkali. Berkali-kali pula kegamangan ini muncul dan hilang.


Hari ini setahun aku menjadi temanmuuuu…
Begitu aku merapal kata saat pertama kali membuka mata pagi ini. Sambil tetap bediri memandang deretan angka penghitung hari itu. Aku mengenang. Mei, bulan ini tahun yang lalu, mataku menangkap sosok yang kudapati, setahun ini telah menjadi temanku.
“sudah bertahun-tahun kau menjadi teman Ranny, Ivan, dan Aris, kenapa kau tak pernah ingat pertama kali kalian bertemu? Mengapa kau tak pernah berencana mengulang saat pertama itu tiap tahunnya? Jika sama-sama kalian berteman, harusnya sama pula apa yang kau lakukan? Mengingat ulang tahun pertemananmu!” hati seperti menohok.
Aku beralih, membuka piringan kubik berlapis logam hitam mengkilat. Berusaha mencari apa saja yang bisa kutemui disana, mencari penjelasan untuk logikaku sendiri.
Masih sangat segar dalam ingatanku bagaimana setahun itu berlalu.
Gemuruh gelanggang olahraga ini tak kunjung reda, sekolahku, setahun yang lalu- mengerahkan begitu banyak siswanya, mendukung habis-habisan tim futsal sekolah kami, maklum, laga final. Ditengah-tengah keramaian itu, dari sanalah aku menangkap sesosok yang tiba-tibaa melemaskanku. Merenggut sesuatu dibawah jantung, tak lama, hanya beberapa detik, mungkin tiga.
Kemenangan ada ditangan sekolahku sore itu, senyum kemenangan tak henti terkulum dari tiap siswanya. Termasuk aku, bedanya, diam-diam dalam senyum itu, seolah ada misteri yang menggelitik segera terpecahkan. Misteri yang didalamnya menggantung hadiah yang mungkin “menyenangkan”. Aku menghela, masih tersenyum, bertekad menang melawan misteri yang aku namai sendiri.
“Namanya Eka Putra, De… kelas duabelas sama kayak kita, anak sma itulooo tapi aku denger gak tiap hari pulang… jadi…”, jadi tak mudah bertemu ia kembali di lain waktu, aku menyimpulkan. Begitu pesan singkat yang shubuh tadi aku baca. Terperanjat, aku segera membuka akun sebuah jejaring, disana pernah aku tanyakan nama seseorang, Eka Putra. Sama.
Kadang aku berpikir, apakah bumi ini benar-benar seluas teori yang sering aku temui. Satu orang saja, nyambungnya bak keluarga tujuh turunan. Jauh sekali ujungnya, di tengah-tengah muncul keterkejutan, keheranan, dan kekagetan, ini-mengenal-ini, ini-anunya-ini. Hft.
Berhari-hari setelah tiga detik yang menyenangkan itu, bunga tidur seperti tak pernah mau bersemi kala malam. Sensasi perut berbunyi menagih jatah asupan pagi, siang, dan malam juga seperti enggan lagi berbunyi. Aku kehilangan sensasi keduanya. Tapi anehnya, aku menurut saja mengkuti kemana aliran ini membawaku, menikmati apa saja yang akan terjadi, ya aku menikmati sensasi itu, tak ingin mengelak barang sedikitpun. Beriringan dengannya, kini, ada sebuah nomer baru diponsel yang menggelitik untuk segera dihubungi. Call, sesaat kupencet, tapi sepersekian detik pula kuakhiri, berharap memori diponsel lain akan mencatat sebuah missed-call tanpa nama kontak. Yang terkadang akan segera dihubungi kembali melalui pesan singkat. Begitulah kawan, teknik klasik itu juga pernah aku gunakan. Aku terlalu pecundang untuk memulai semuanya melalui pesan singkat.
Sampai akhirnya, hari berganti hari, aku mendapati diriku makin salah meng-artikan tatapan tiga detik yang dulu sempat melemaskanku. Aku terlalu dini mengartikan itu cinta. Aku terlalu egois mengikuti arah hati untuk terus mencintainya, tanpa peduli, “peringatan logika”. Itu mungkin manusiawi, tak memalukan. Yang membuatnya memalukan adalah aku sempat terlalu “memaksakan”. Padahal, harusnya aku lebih pandai mengucap Alhamdulillah mengingat orang baru ini sudah mau aku recoki tiap malamnya.
Pertemanan kami masih mengalir, tak tergerus, -mungkin musim, meski kadang,-seperti laut yang harus mengalah energinya pada cahaya sempurna rembulan, pertemanan kami juga ada pasang-surutnya. Karena bagiku,- adakalanya pertemanan harus direnggangkan, tapi bukan berarti dipisahkan. Tujuannya agar semua tetap segar, tetap seimbang, dan tak membosankan.
Aku meninggalkan potongan-potongan film klasik tadi. Semua telah kutanggalkan, meski padahal, mereka tetap setia dibelakang ketika harus kembali terputar. Aku raih diary, dan mulai menulis.


Kepada logika, yang selalu mengajarkan bahwa setiap peristiwa memiliki nalarnya masing-masing, yang mampu dijelaskan, bukan sekedar dielakkan dengan perasaan.
Kali ini aku tak akan mengelakmu, aku juga tak akan membela diri mencari setumpuk alasan “mengapa aku melakukannya? Mengingat setahun itu”. Di dunia ini, bagiku, sebenarnya tak pernah benar-benar ada pertemuan yang direncanakan. Dan adakalanya, pertemuan itu hanya ‘bonus’ dari sebuah rencana. Dan bertemu dengannya adalah sebuah bonus rencanaku mendukung tim futsal kala itu.
Kami berteman dengan serba keadaan baru dan mungkin, asing. Aku orang baru baginya, begitu sebaliknya. Latar kami benar-benar berbeda, lingkungan dan pendidikan. Hanya saja satu kesamaan kami. Usia. Usia remaja. Yang sebisa mungkin belajar sok dewasa memaknai hidup, meski kadang dapatnya hanya setengah. Kami belajar, di tempat berbeda. Sistem pendidikan yang ada,, membuat intensitas pertemuan, -yang direncanakan atau tidak, menjadi sangat tak mungkin. Berbeda dengan pertemananku dengan tiga orang itu- Ranny, Aris, Ivan yang disatukan persamaan tujuan. Dua belas tahun menuntut ilmu di sekolah yang sama, dan sebangku. Kali ini tidak, begitu banyak interval waktu yang memisahkan pertemuan satu dengan pertemuan yang lain. Dan itulah yang bisa aku jelaskan padamu mengapa aku mau dan mampu mengingat-ingat kapan saat pertama itu akan diulang tiap tahunnya. Karena menjaga pertemanan seperti itu, bagiku tak pernah mudah, dan aku lega, mendapati usianya kini sudah setahun. Bukan karena ‘rasa’ yang sempat aku ceritakan padamu itu masih ada dan terlalu besar, tidak. Yang tak mudah selalu terlalu kuat untuk diingat. Karena disana ada ‘perjuangan’. Usaha tak pernah mempermasalahkan jarak, dan sedikit ‘perjuangan’ menghilangkan rasa asing itu dulu, bagiku. Inilah yang membuat setahun yang lalu masih begitu segar. …
Adelia P


Aku meringis, ia yang dulu seperti teman khayalan dalam negeri dongeng menjelma  menjadi temanku kuliah kini. Rencanayang tak pernah terpikirkan. Aku katamkan lagi membacanya, disana, kalimat itu tak pernah terselesaikan. Tapi setidaknya, aku telah mampu menjelaskan. Aku baru akan merapikan semuanya, dan bergegas pulang, sebelum aku sadar, aku dapati ia,- yang baru aku baca lagi kisahnya- memandangku dari tengah lapang dibawah sana. Sesaat itu juga ia menghampiriku dan kini berada disampingku.
“katanya tadi pulang duluan? Kok masih disini De ?” tanyanya.
“aku gak bilang pulang, cuman bilang duluan”. Balasku seperti tak siap.
“hhh, iya sih iya. Maaf salah. Ngapain? Udah sore banget lo?”.
“nulis dan ngecek lagi list kegiatan ospek bulan depan, takut ada yang keliru, mumpung masih disini, lah? Kamu masih ngapain disini?” Tanyaku balik.
“nulisnya di buku diary? Lagi liat komunitas panah latian, sepertinya seru”. Seolah tanpa berpikir, ia tahu, bahwa buku yang masih didekapku ini sebuah diary.
“iya sih ini emang diary, tapi isinya gado-gado”. Kilahku, seraya membatin-, di buku ini, ada cerita pertama kita berteman yang tak pernah kau ingat.
“hahaha, bisa aja kamu. Buruan pulang, gak baik cewek pulang kemaleman, baru juga jadi mahasiswa kan?”.
Aku menurut perintahnya, tapi sebelum ia berlalu terlalu jauh aku menahannya. Bertanya bodoh.
“eh nanya, ini tanggal berapa ya Kak?” .
“6 Mei De, kenapa? Ada janji?” tanyanya tak curiga.
Aku menghela napas, ia memang benar-benar tak ingat. “oh udah Mei, cepet ya, padahal Mei setahun yang lalu kan”. Aku sengaja tak menyelesaikan kalimatku, memberi kesempatannya berpikir, akankah ia ingat?.
“kenapa Mei setahun yang lalu? Masih mau naik kelas tiga? Pingin balik sma? Hahaha”. Ia tak ingat. Aku tersenyum, kecut.
Ia berlalu, menghilang bersama kerumunan lain yang mulai beranjak pulang. Matahari juga hampir hilang. Aku masih tak sedikitpun melangkah. Tapi dalam hati, aku putuskan untuk tak lagi menggamangkan hal ini. Aku sudah merapikan diaryku, membiarkan semua- cerita setahun kami- diam disana. Hanya aku yang akan setia membaca, membolak-balik tiap halamannya. Karena baginya, mungkin, berteman tetap berteman, tak perlu diingat kapan pertama kami bertemu. Itu hal kecil. Tak penting. Aku menghela, tapi bagiku…. Ah sudahlah, selamat satu tahun, teman :-)



Eka Putra, nama asli yang pengarang pinjam dari yang sebenarnya.
Sebagian tokoh lain, karangan dan imajinasi.
Yang ber-font Agency Fb, pernah ada dalam 'sebuah' diary.
Dan sisanya, difiktifkan, -bukan sebenarnya.





Minggu, 28 April 2013

lembar baru itu, aku beri nama 'tinta laut'


Mungkin, jika ada persamaan yang senantiasa mengulum senyum padaku, ia adalah kamu, dan tulisan-tulisan kecilku yang tergores di mana saja. Kalian sama-sama candu yang tak pernah aku temukan obat penawarnya. Gawatnya, sama seperti candu-candu yang ditawarkan obat-obat ilegal di negri ini, candu kalian menghasilkan rasa luar biasa, yang sulit dielak, sulit ditaklukan, dan akulah yang akhirnya penuh keikhlasan harus mengalah, tertunduk pada semua yang bersangkut paut dengan kalian-, kamu dan tulisan ini.
Pikiranku menggulung-gulung hari, tak tentu arah, kadang berlari kesebuah keinginan besar memilikmu karena semakin hari kau nampak dalam media apapun semakin hari pula aku menggilaimu. Tapi sejenak berhenti, memutar elongasi ke arah lain yang bertabrakan, kekuatan ingin mengkahiri segalanya tentang kamu terbersit tak kalah gila. Tapi sesaat, beliung itu reda, mnegmbalikanku pada sikap normal bahwa kita,- aku dan kamu- akan tetap berteman sampai nanti mungkin angin sudah tak berarak bersama dan berganti meneteskan air perlahan, sampai nanti gersangnya padang di musim kemarau telah berganti titik-titik air tiap harinya disana. Kita akan tetap berteman, sampai nanti, kemarau-dan hujan, musim silih berganti memutar waktu mungkin sampai nanti ketka purnama sudah berlalu sampai hitungan beratus-ratus. Aku menegak ludah, sampai kapan kegamangan ini terus berpendar sendirian dalam hati. Tanpa pernah tau lagi siapa yang akan menjadi tiang pegangannya.
Aku menyandarkan diri, masih di kamar tidur. Hari ini, aku ingin, semua kegalauan perasaan tentang apa yang harus aku lakukan terhadapmu harus terselesaikan, kompromiku pada hati. Aku tak mungkin kembali mengibarkan bendera perang, menabuh genderang, menyatakan bahwa aku kembali berperang, melawan “tidak”mu yang dulu sempat  aku dengar dengan tetap mencintaimu, terang-terangan, melawan semua yang mungkin telah kau anggap pertemanan dengan cinta yang menggebu-nggebu. Sama saja, punguk merindukan bulan. Dan punguk itu temanmu yang mungkin tak pernah penting. Aku menghela, pasrah.
Tapi, bukankah kau dan tulisan-tulisan ini sama? Berhenti mencintaimu meski diam-diam tak seorang pun tahu aku masih menanamnya di taman rahasia dalam hatiku sendiri, berarti juga menghentikan semua tulisan-tulisan kecilku. Tidak. Aku tergertak. Aku akan terus menulis, berarti aku akan terus mencintaimu. Terus, diam-diam. Aku tak gentar meski bebrapa kali tangis pecah bukan karna sakit menanggung cinta diam-diam ini sendirian, tapi karena mereka yang sebenarnya tak pernah benar-benar tahu, melarangku melanjutkan apapun yang telah kujalankan, setngah, untukmu.
Aku mengambil secarik kertas- “tinta laut”. Aku menggoresnya. Aku akan memulai lembar baru menulis tiap hari tentangmu bersamanya. Aku berjanji. Cerita petualangan hati dinaikturunkan perasaaan olehmu akan tumpah disini. Dilembar baru yang membebaskan orang gila, yang mencintaimu ini, menuliskan apa saja. Tekadku bahwa persamaan “kalian” yang harus tetap terpelihara membuatku mengambil jalan samping, membelokkan kegamangan pada lembar baru sebuah halaman yang akan setia mendengarku bercerita, dan yang paling menyenangkan, adalah tak memprotesku, selalu. Kalian, tulisan yang terus mengalir dan lelaki yang aku cintai, akan terpelihara hati, terceritakan dengan indah pula oleh hati, bersama lembar baru bertitle “tinta laut” ini. Seperti tinta laut, tak akan habis ia tergerus jaman, tergerus waktu, tergerus musim kemarau panjang. Karena di hamparan biru itu, mengalir berkubik-kubik air yang akan terus mengisi penaku menulis apa saja tentangmu. Aku tak perlu takut kehilangan salah satu dari kalian, seperti ombak yang tak berhenti berdebur menysir pantai, aku juga tak akan berhenti menyisir tiap jengkal harimu untuk bisa menjadi hariku. Tetes airnya akan tertuang disini, bersama hati yang tertuang padamu. Karena, lagi, aku mencintaimu seperti aku mencintai tulisan-tulisanku, bertabur kata-kata yang kadang harus terindahkan, mengalir dari hati,tak akan dihentikan apapun yang mungkin menghadang. Aku masih mencintamu, teman.