Apa aku sanggup terus becerita tentangmu? Bercerita
yang jauh hanya ada dalam mimpi dan imajinasi, sedang dalam nyatamu, kau tetap
memilih dia, dia yang mengisi cerita tiap harimu…
“ini bukumu…” sodornya sambil duduk menyampingiku.
“taruh aja disitu” jawabku singkat, dan kembali larut
pada apa yang sedang kutekuni.
“sibuk? Lagi nulis? Nulis apa?.” Aku menoleh ke
arahnya, memandangnya tapi tanpa kata.
“semalem pulang jam berapa nonton pekan seninya
FISIP?” Aku balas bertanya.
“jam duabelasan, kenapa?”
“sendirian?”
“sama temen-temen.”
Aku tak mau lagi banyak bertanya. Teman-teman.
Memang, kau tak berbohong, nyatanya aku tahu jika kau memang pergi dengan
teman-temanmu. Walaupun, diantara semua teman-temanmu itu telah kau pilih satu
yang menjadi lebih spesial, mungkin karena cerita masa lalu. Tapi… tunggu dulu,
apa salahnya jika dia harus berbohong? Kita teman, bukan pacar. Kutukku sendiri
dalam hati. Aku banting pulpenku. Ia sudah tak ada di sampingku, mendadak
jari-jariku kaku. Semua keindahan tiap rangkaian kata tentangnya tadi seolah
menguap, tahu, nasibnya amat berkebalikan dengan kenyataan.
Satu tahun yang lalu… sejak kami dipertemukan untuk
berteman, aku melihat celah lain yang sanggup aku tuliskan keindahannya. Aku
tak segan selalu mengambil dirinya sebagai tokoh dalam tiap imajinasiku. Karena
bagiku, imajinasi tentangnya selalu membalikkan kesedihan yang ditawarkan kenyataan. Cerita yang berasal dari angan-angan
atau… hati?. Entah, aku tak pernah tahu mengapa aku bisa setegar itu
mem-fiksikannya. Teman yang datangnya
sama dengan teman-teman baruku dulu karena dipersatukan kesamaan jurusan. Hingga
satu tahun kebelakang, nafsu menulisku amat tak tertahankan, satu detik
menatapnya, mungkin, akan timbul sejuta cerita yang sanggup kutulis dan entah,
kapan aku lelah dan sejenak mungkin, beralih pada tokoh-tokoh lain, yang
harusnya, punya peran lebih darinya.
Dari semuanya… aku terlalu buta jika aku tak melihat,
disana ada cinta tumbuh, sejak pertama, saat ia datang padaku untuk menjadi
temannya?. Mungkin, aku sudah terlalu paham sejak awal, tapi aku, memilih untuk
tetap diam. Bagiku, mengumbar semuanya serba kelihatan akan justru menyisahkan
kami jarak. Berkata jujur tentang semua perasaan justru akan mendingikan
sapaannya bagiku yang tiap hari adalah kehangatan. Pertama tahu aku
mencintanya, pertama juga aku tahu, bayang-bayang masa lalunya masih terlalu
kuat untuk kuhilangkan, bersamaku, semuanya tetap ada disana, masa lalunya. Yang
juga, cerita nyata tiap harinya.
Dalam rentang waktu seperti itu bagaimana mungkin aku
sanggup terus memendam semuanya, terus bisu bahwa semua tulisan dan imajinasiku
timbul karenanya. Bahkan dalam kesedihan karena kecemburuanku padanya pun masih
sanggup aku tuliskan dan kubaca berulang-ulang, seperti mengobati lagi, luka
yang sebenarnya tak pernah kering. Aku pertanyakan lagi kesanggupanku untuk
tetap setia memenakannya. Memberinya keindahan atas imajinasi dan
angan-anganku. Walau jauh nyatanya. Ia tak sering membagi cinta dan kesenangan
pada dirinya untukku. Akankah aku terus bertahan pada keindahan semu,
angan-angan yang tak pernah punya tujuan. Mengalah pada “dia”, masa lalunya,
yang selalu ia beri tanpa meminta, secara nyata?
Aku tak pernah tahu akhirnya… yang jelas ada
didepanku sekarang, aku tak pernah gentar, menulis untuknya. Sampai nanti, aku
lelah. Meski tak tahu, masi bisakah aku lelah dan menyerah untuknya?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar