“ Selamat berjuang…
Keberuntungan ada di tangan mereka yg percaya dan berdoa”
Sent. Tuesday. 05.05 am
Aku
tetap memilih, menjadi teman yang dengan kesetiaannya selalu mendukung apa yang
ia lakukan. Ya, sebagai teman, dua tahun kebelakang.
Diantara sengalan
nafas yang terus berjejal, memburu, aku melemparkannya, sekedar pensil dan
gulungan kertas kecil, beberapa pesan, atu mungkin, luapan perasaan
dimenit-menit paling krusial sebelum ia menempuh ujian mandirinya. Aku masih
ingat, betapa beberapa saat sebelum langkahku semakin mendekat, semua terasa
semakin berat. Aku mengenal alasannya. Amat kenal. Lemparanku itu berarti juga
keikhlasan, keikhlasan melemparnya pergi, ke tempat yang nantinya jauh
memisahkan kami. Ke tempat ia akan mengejar mimpinya. Tanpa pernah tahu, dialah
yang tiap malam tak pernah hilang dari tidur seseorang sebagai mimpi. Tidurku.
Temannya. Yang masih terlalu pecundang.
“Ini pensil unasku,
terpercaya kok, sengaja kusisakan untuk tesmu hari ini”…
“iya, aku tau, kamu
punya beberapa yang lebih kau percaya, tapi anggap saja, dengan itu, aku ikut
berjuang bersamamu kawan, aku gak duluan, kamu punya tempat terbaik disana.
Selamat berjuang!”…
“satu lagi, rencana
Tuhan gak pernah ketukar.”
Seraya menepuk
pundaknya, aku segera berbalik, mengucap semua kata-kataku tanpa jeda. Aku tak
terlalu siap jika tiba-tiba ia menyela dengan kata yang tak bisa aku imbangi.
Karena mungkin saat ini, aku terlalu sedih. Sedih, melepasnya pergi.
“ini?” ia mengacungkan
gulungan kertas kecil yang kuberikan.
“buka saja saat
semua perjuanganmu sudah kautamatkan, selamat berjuang” setengah berteriak,
jarak kami sudah tak terlalu dekat. Dari kejauhan, sekelebat aku melihat raut
kebingungan. Mungkin bingung, apa isi yang ada digulungan kecil itu, atau bisa
jadi bingung, bagaimana bisa aku tau tempat tesnya dan menghampirinya. Aku
terkikik. Anggap saja aku dukun. Aku melenggang pergi. Namun tak pulang.
Setelah sekitar
satu jam aku berkendara, aku memarkir sepedaku di pinggiran jalan tak jauh dari
tempat yang akan aku singgahi. Dari kejauhan aku sudah bisa mendengar,
gemericik aliran air yang tak terlalu besar, tapi menenangkan. Aku melemparkan
tasku disana, dipinggiran sungai dengan rumput hijau yang halusnya lumayan, dan
segera menjatuhkan badan. Tak banyak orang tau tempat ini. Jaraknya lumayan
dari jangkauan kota, itu sebabnya pula, sungai ini jauh lebih bersih ketimbang
sungai yang membelah kota. Aku sendiri menemukan sungai ini ketika ayah
mengajariku bagaimana memancing. Dulu, ketika ia masih ada.
Aku biarkan pikiranku
mengalir terlampau jauh bersama aliran air disini. Pikiran yang sejak sebulan
lalu tiba-tiba menjerat dan tak mampu ku tolak. Pikiran yang tiba-tiba mengetuk
hati, membuka pintunnya yang sudah lama dan susah payah kututup, atas nama
pertemanan. Aku tak mau jatuh pada temanku sendiri.
Aku menghela
panjang… jika perpisahan ada untuk menjadi momok manusia, aku ingin, memilih
untuk tak takut padanya. Aku memilih untuk tak menjadi musuhnya, merangkulnya
bersama, karena ia juga, bagian besar dari kebahagiaan yang dulu diberikan
pertemuan padaku. Tapi semua tak pernah mudah, semakin aku mencoba berdamai,
semakin pula sisi hati yang lain meronta, mengutuk, dan memberontak, berteriak
keras “kenapa ia harus ada?.” Kalaupun ia harus ada, kenapa ia datang saat ini,
merenggutnya, sahabatku, dari liburan
panjangku kali ini. Merenggut saat waktu, mungkin, akan banyak kuhabiskan
dengannya. Dengannya akan kami bayar bersama pertemanan kami dua tahun yang tak
banyak yang bisa kita lakukan lagi-lagi karena masalah jarak, walau tak sejauh
yang akan ia tuju setelah ini. Jarak yang selalu jahat. Dan sekarang,
perpisahan yang sebenarnya tak cukup kejam ini, harus dikuti dengan jahatnya
jarak yang memisahkan kami.
“mungkin, aku
menyayangimu lebih dari teman, bagaimana kalau aku mengingikan lebih dari ini?”
pertanyaan hina, tapi terlambat, aku sudah bergumam, aku menyadarinya, dan aku
terima alasan mengapa perpisahan ini akan terasa begitu berat. Aku…
“And this is the
day, usahamu selama ini akan kau tentukan hari ini. Mimpi yang dulu kau
gantungkan, akan kau tentukan nasibnya pagi ini. Selamat berjuang, aku cuman
ingin kabar terbaik darimu nanti…
Kabar baik? Tidak, tidak selamanya kabar baikmu akan menyenangkan
bagiku. “seseorang akan bahagia jika melihat orang yang dicintainya bahagia”
aku setuju ungkapan ini. Aku akan berbahagia untukmu saat kau mampu menempati
tempatmu disana, universitas yang akan menyisahkan ribuan kilometer untuk
pertemanan kita. Aku akan mengiyakan ungkapan itu, jika saja, aku masih berdiri
disampingmu sebagai teman. Tapi sekarang, aku tak bisa berbahagia untukmu
terlalu lama. Aku rasa, ada hati yang memilih untuk bersedih karena
penerimaanmu nanti, bukan aku jahat. Tidak. Aku selalu ingin menjadi pendukung
terbaik untukmu, sahabatku, dua tahun silam. Tapi. Apa yang bisa dilakukan jika
pertemananku denganmu ini, sudah terjajah hati?
selamat berjuang, keajaiban Tuhan untuk mereka yang percaya dan berdoa.”
selamat berjuang, keajaiban Tuhan untuk mereka yang percaya dan berdoa.”
Gulungan kertas
kecil itu… dibaca pemiliknya. Aku melengak, masih tak bisa berkata-kata.
“bagaimana kau bisa
tau aku disini?” bibirku mulai bergerak.
“anggap saja aku
dukun,” balasnya terkekeh. Kemudian hening kembali menyisahkan kami jeda.
“kita bakal
berjuang bersama-sama, aku disana, kamu disini, aku akan kembali saat
pejuanganku sudah selesai, saat impianku sudah jelas nasibnya, aku akan
kembali, menjemput impianku yang lain yang masih disini, jaga diri.” Ia mulai
bicara, tak banyak, tapi tepat pada bidikan. Mataku mulai panas.
Aku tak mampu
mengimbangi setiap kata yang keluar darinya. Apa yang aku dengar hanya ilusi
karena saat ini aku terlalu menginginkannya dan bersedih akan melepasnya? Aku
hanya meliriknya. Pada sosoknya, menggantung sebuah pertanyaan yang barangkali
aku tahu jawabnya, tapi memilih untuk berpura tak tahu. Aku biarkan menjadi
pertanyaan yang mungkin empat tahun lagi baru aku temukan jawabnya.
“selamat berjuang,
aku tunggu kamu disini, nanti.”
Aku beranjak.
Pulang. Meninggalkannya, tetap tinggal bersama dan dengan impian-impiannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar