Selasa, 25 Juni 2013

Tak Pernah Jadi Realita


“nanti ya, kalo kita sama-sama gak sibuk, aku akan bayar semua janjiku, karna bagiku janji tak jauh berbeda seperti harga diri, yang nasibnya akan kamu tentukan, jatuh atau terbanggakan.” Kemudian dengan sebaris kalimat itu aku menjadi amat senang. Senyum terus melengkung, walau aku sadar, beberapa kali kalimat itu meluncur, janjimu tetap janji, tetap disana, tak pernah jadi realita.
Hari ini kita akan bertemu, pergi ke bioskop bersama, nonton film yang sudah kita tunggu sejak lama. Berdua. Berbagi popcorn, berbagi tawa, berbagi airmata, atau mungkin, berbagi sela-sela jari kita untuk saling menggenggam saat nanti scene-nya akan berubah menjadi menakutkan. Iya, semua mungkin akan mudah terjadi. Jika saja, satu jam sebelum keberangkatan janji kita, kau tidak membatalkan semuanya.
“aku harus ambil beberapa berkas di sekolah yang lama, aku merasa bersalah sekali harus membatalkan ini, tapi kau mengerti kan? Berkas-berkas itu begitu penting.” Pesanmu satu jam tadi yang tiba-tiba seperti meruntukan awan di atas kepalaku. Semuanya mendadak berat. Gelap.
“kau mau mengerti kan?” sungguh, apa pengertianku selama ini padamu tak pernah terlihat? Apa perhatian, pengertian, tentang semua yang pernah kau sangkal atau kau batalkan masih tetutup bayang-bayang-“nya”, masa lalumu? Lalu untuk apa kau terus berjanji padaku, jika kau sendiri tahu, kau juga akan terus membatalkan semuanya?
Semakin aku mencoba tersenyum menerimanya, semakin panas mataku menahan sesuatu yang harusnya memang layak aku luapkan? Tapi, status kami lah yang mencoba terus menahannya. Mendapati bahwa kami memang tak pernah berkomitmen bersama terus menegarkanku bahwa aku tak perlu menangisi semua ini.  Bahwa aku hanya perlu bersikap seolah-olah aku batal pergi keluar seperti saat batal keluar dengan kelima perempuan sahabatku. Iya seperti itu, andai saja, kita tak pernah melewati semuanya.
Melewati malam-malam kita yang dingin, yang tak jarang dilanda sepi. Membuat semuanya terasa lebih hangat dengan canda kami walau hanya melalui pesan singkat. Bercerita apa saja, hal-hal konyol yang tak pernah ada, hingga, cerita yang amat riskan. Tentang hati. Hanya berdua dengannya, dengan baris-baris mungil kalimatnya, aku seperti lupa bahwa ternyata kami hanya sepasang teman yang disatukan nasib, nasib bahwa masa lalu kami masih teramat dekat, masih sering menghampiri kami untuk kembali. Apalagi dia, yang diam-diam dalam setiap kalimat kami yang saling memuji, masih ada “dia”, masa lalunya, yang ia banggakan, yang seolah-olah sukar tergantikan.
Aku mendapati aku bergerak lebih cepat darinya. Tapi itu tak menjadikan semuanya lebih baik. Jika ternyata, peralihan hati dan cintaku yang pernah tersangkut masa lalu, jatuh pada dirinya. Dia, yang hari-harinya seperti penumbra purnama masa lalu. Dalam setiap usahaku menggiringnya pada keadaan yang lebih terang, keadaan dengan kenyataan bahwa ada aku yang diam-diam mencoba menyembuhkan lukanya yang sukar kering, kadang aku gentar. Enam bulan kami, semua perhatianku, seolah begitu saja menguap saat ia bertemu perempuan itu, sengaja atau tidak. Janji-janji yang kami rancang seolah bubar ketika ia terlalu senang mendapat kesempatan untuk menengok masa lalunya. Semuanya terjadi begitu sering. Aku lelah, iya. Tapi apa yang bisa menghentikan kepercayaanku padanya jika ternyata, persaanku padanya sudah menjajah terlampau jauh?
Seperti hari ini, apa yang bisa aku lakukan, lagi-lagi membatalkan janji. Lagi-lagi seperti menolak bahwa dia akan bertemu denganku. Yang mungkin tak semenyenangkan masa lalunya. Mungkin dia sedang lupa, kemana dia bercerita dan mencari tawa, ketika malamnya hanya meninggalkan sepi. Sepi tak tersentuh orang yang ia harapkan. Kepadaku? Iya, kepadaku, yang entah terlalu bodoh atau apa, selalu membuka pintu maaf untuk entah, berapa janji yang sudah ia tinggalkan. Bodohkah aku jika terus berharap, suatu hari nanti, seratus tahun pun bahkan tak masalah. Yang terpenting, harapan bahwa ia akan ingat, ia punya janji yang harus ditepati. Denganku.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar