“nanti ya, kalo kita
sama-sama gak sibuk, aku akan bayar semua janjiku, karna bagiku janji tak jauh
berbeda seperti harga diri, yang nasibnya akan kamu tentukan, jatuh atau
terbanggakan.” Kemudian dengan sebaris kalimat itu aku menjadi amat senang. Senyum
terus melengkung, walau aku sadar, beberapa kali kalimat itu meluncur, janjimu
tetap janji, tetap disana, tak pernah jadi realita.
Hari ini kita akan
bertemu, pergi ke bioskop bersama, nonton film yang sudah kita tunggu sejak
lama. Berdua. Berbagi popcorn, berbagi tawa, berbagi airmata, atau mungkin,
berbagi sela-sela jari kita untuk saling menggenggam saat nanti scene-nya akan
berubah menjadi menakutkan. Iya, semua mungkin akan mudah terjadi. Jika saja,
satu jam sebelum keberangkatan janji kita, kau tidak membatalkan semuanya.
“aku harus ambil
beberapa berkas di sekolah yang lama, aku merasa bersalah sekali harus
membatalkan ini, tapi kau mengerti kan? Berkas-berkas itu begitu penting.” Pesanmu
satu jam tadi yang tiba-tiba seperti meruntukan awan di atas kepalaku. Semuanya
mendadak berat. Gelap.
“kau mau mengerti kan?”
sungguh, apa pengertianku selama ini padamu tak pernah terlihat? Apa perhatian,
pengertian, tentang semua yang pernah kau sangkal atau kau batalkan masih
tetutup bayang-bayang-“nya”, masa lalumu? Lalu untuk apa kau terus berjanji
padaku, jika kau sendiri tahu, kau juga akan terus membatalkan semuanya?
Semakin aku mencoba
tersenyum menerimanya, semakin panas mataku menahan sesuatu yang harusnya
memang layak aku luapkan? Tapi, status kami lah yang mencoba terus menahannya. Mendapati
bahwa kami memang tak pernah berkomitmen bersama terus menegarkanku bahwa aku
tak perlu menangisi semua ini. Bahwa aku
hanya perlu bersikap seolah-olah aku batal pergi keluar seperti saat batal
keluar dengan kelima perempuan sahabatku. Iya seperti itu, andai saja, kita tak
pernah melewati semuanya.
Melewati malam-malam kita
yang dingin, yang tak jarang dilanda sepi. Membuat semuanya terasa lebih hangat
dengan canda kami walau hanya melalui pesan singkat. Bercerita apa saja,
hal-hal konyol yang tak pernah ada, hingga, cerita yang amat riskan. Tentang hati.
Hanya berdua dengannya, dengan baris-baris mungil kalimatnya, aku seperti lupa
bahwa ternyata kami hanya sepasang teman yang disatukan nasib, nasib bahwa masa
lalu kami masih teramat dekat, masih sering menghampiri kami untuk kembali. Apalagi
dia, yang diam-diam dalam setiap kalimat kami yang saling memuji, masih ada “dia”,
masa lalunya, yang ia banggakan, yang seolah-olah sukar tergantikan.
Aku mendapati aku
bergerak lebih cepat darinya. Tapi itu tak menjadikan semuanya lebih baik. Jika
ternyata, peralihan hati dan cintaku yang pernah tersangkut masa lalu, jatuh
pada dirinya. Dia, yang hari-harinya seperti penumbra purnama masa lalu. Dalam setiap
usahaku menggiringnya pada keadaan yang lebih terang, keadaan dengan kenyataan
bahwa ada aku yang diam-diam mencoba menyembuhkan lukanya yang sukar kering,
kadang aku gentar. Enam bulan kami, semua perhatianku, seolah begitu saja menguap
saat ia bertemu perempuan itu, sengaja atau tidak. Janji-janji yang kami
rancang seolah bubar ketika ia terlalu senang mendapat kesempatan untuk
menengok masa lalunya. Semuanya terjadi begitu sering. Aku lelah, iya. Tapi apa
yang bisa menghentikan kepercayaanku padanya jika ternyata, persaanku padanya sudah
menjajah terlampau jauh?
Seperti hari ini, apa
yang bisa aku lakukan, lagi-lagi membatalkan janji. Lagi-lagi seperti menolak
bahwa dia akan bertemu denganku. Yang mungkin tak semenyenangkan masa lalunya. Mungkin
dia sedang lupa, kemana dia bercerita dan mencari tawa, ketika malamnya hanya
meninggalkan sepi. Sepi tak tersentuh orang yang ia harapkan. Kepadaku? Iya,
kepadaku, yang entah terlalu bodoh atau apa, selalu membuka pintu maaf untuk
entah, berapa janji yang sudah ia tinggalkan. Bodohkah aku jika terus berharap,
suatu hari nanti, seratus tahun pun bahkan tak masalah. Yang terpenting,
harapan bahwa ia akan ingat, ia punya janji yang harus ditepati. Denganku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar